Saya lihat Mas Arya jadi sosok yang kaku serta pendiam, bahkan juga walau kami kuliah di universitas yang sama serta tinggal bersebelahan tempat tinggal. Tidak meskipun kami pergi kuliah dengan, sebab tetanggaku ini memanglah sedikit pendiam serta kelihatannya lebih suka pergi serta pulang sendirian saja memakai sepeda ontelnya yang sudah tua. Walau sebenarnya bila dipikir-pikir, mengapa ia tidak pergi denganku saja naik sepeda motorku, terlebih sebagian jadwal kuliah kami kelihatannya sama.
Dibanding dengan jam terbangnya yang sudah tinggi serta sudah semester akhir, pastinya Mas Arya semestinya mempunyai rekan yang semakin banyak di universitas, dibanding dengan saya yang barusan masuk semester ke-2.
Tetapi tidak, sama seperti seperti dirumah, di universitas juga Mas Arya tidak mempunyai banyak rekan serta seringkali menggunakan saatnya di perpustakaan.
Saya bahkan juga begitu tidak sering memandangnya kumpul-kumpul dengan rekan yang lain, cuma satu atau dua barangkali dalam satu pekan. Kehidupannya tampak begitu menjemukan serta bahkan juga tidak menarik sekalipun, bahkan juga saya yang bertetangga saja begitu tidak sering bertegur sapa.
Kaku serta Tampak Galak
Tempat tinggal kami yang berdempetan memanglah buat keluargaku serta keluarga Mas Arya sudah demikian dekat, bahkan juga seperti saudara saja.
Orangtuanya ramah serta bahkan juga senantiasa datang ke teras sekedar untuk mengobrol dengan orangtuaku, begitu halnya Mba Raras, kakak wanita Mas Arya yang bekerja jadi perawat dirumah sakit.
Cuma Mas Arya seseorang saja yang demikian kaku serta seperti tidak sempat bergaul dengan yang beda, hingga kesan galak begitu menempel di berwajah yang sedikit tirus.
Tempat tinggal kami tidak dipisahkan oleh pagar maupun pembatas yang lain, hingga pekarangan tempat tinggal seperti menyatu saja. Kami mempunyai sebatang pohon jambu air, tak tahu punya siapa, sebab tumbuhnya persis di tengahnya pekarangan.
Seperti umum, pohon yang demikian rajin berbuah ini tidak sempat dipanen serta di jual buahnya, sebab cuma juga akan dikonsumsi saja oleh keluargaku dan keluarga Mas Arya. Bila buahnya banyak, ibu juga senantiasa membagikannya pada beberapa tetangga yang lain.
Salah Menilai
Sekarang ini buah jambunya belum juga sangat masak rata, jadi kami memanglah belum juga sempat memetiknya. Tetapi siang itu, 4 orang anak kecil dari gang samping datang serta berusaha memanjat pohon jambu itu.
Anak-anak ini memanglah populer nakal serta seringkali buat tingkah di sekitaran rumahku. Saya lihat dari balik gorden jendela kamarku yang galap, sebab hari memanglah telah sedikit sore.
Mereka demikian semangat, menuai serta menelan jambu-jambu itu diatas pohonnya. Saya punya niat untuk memarahi mereka, kelak sesudah semuanya anak itu memanjat, sebab seseorang sekali lagi masih tetap berdiri dibawah.
Mendadak saja Mas Arya datang serta hampiri mereka, komplit dengan muka kakunya yang tidak sering senyum itu. Anak-anak itu tidak menyadarinya, sampai Mas Arya berdiri dibawah pohon jambu itu.
Saya penasaran serta mulai memikirkan bagaimana berwajah saat geram kelak, karna pohon jambunya dipanjati anak-anak itu.
Tetapi kelihatannya saya mesti kecewa, karna penilaian saya salah. Mas Arya tersenyum serta melambaikan tangannya yang memegang sebagian lembar kantong plastik warna-warni seraya berkata, “Ayo ambillah ini serta masukan jambunya kesini. Jambunya mesti dicuci dahulu sebelumnya dikonsumsi, Dek, agar tidak sakit perut. ”
Saya tercengang, sebab pemuda yang kuanggap kaku serta tidak bersosialisasi ini nyatanya dapat ramah juga, bahkan juga pada anak-anak nakal itu. Kelihatannya saya telah salah menilainya Mas Arya sampai kini.
“Tidak butuh geram. Perlihatkan yang benar, jadi mereka juga akan belajar, ” tuturnya padaku sekian hari lalu, waktu saya serta dia pergi kuliah dengan.
Perkataannya itu sudah mengajarkanku, kadang-kadang untuk memberitahu anak anak yang nakal tidak harus mesti dengan kekerasan.
Cerita di atas adalah cerita fiktif begitu halnya nama yang dipakai. Mudah-mudahan cerita tentang tetangga yang kaku ini berguna.